"Pekerjaan menjual sayur memudahkan tugas memburu ibu hamil risiko tinggi, karena bisa masuk ke komunitas ibu-ibu".
Merdeka.com, Banyuwangi - Jam 3 dini hari sebelum ayam jantan berkokok, Delilatul Hasanah mengeluarkan motornya, lalu memanasi mesin motor sembari menutup kembali pintu belakang rumahnya. Ibu dua anak itu mengenakan jilbab dibalik helmnya, sepatu boot tinggi, celana panjang, dan rompi merah bertuliskan ‘Pemburu Bumil Risti’ di bagian punggung dengan huruf-huruf berukuran besar.
Dia membonceng rombong dengan papan bertuliskan daftar tanda-tanda ibu hamil risiko tinggi (bumilristi), berangkat ke Pasar Sumberwadung, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur untuk kulakan sayur,
lauk dan palawija. Begitulah kegiatan Lila, sapaan Delilatul Hasanah, mengawali kehidupannya setiap hari sejak langit masih gelap.
Dengan barang-barang dagangannya, dia masuk ke gang-gang di Dusun Parastembok, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, yang jadi langganannya berjualan keliling. Di sela-sela menjajakan dagangannya, penjual sayur keliling atau mlijo itu menyosialisasikan tentang pentingnya pendampingan puskesmas pada bumilristi.
Tapi tugas utama yang diembannya sebagai Pemburu Bumilristi Puskesmas Sempu adalah mencari ibu-ibu hamil yang memiliki tanda-tanda risiko tinggi. Dia telah mendapatkan pembekalan dari Puskesmas mengenai tanda-tanda seorang ibu hamil dalam kondisi risiko tinggi, dari hamil saat usia ibu terlalu muda hingga terlalu banyak anak.
"Pekerjaan menjual sayur memudahkan tugas memburu ibu hamil risiko tinggi, karena bisa masuk ke komunitas ibu-ibu. Apalagi saya kan puluhan tahun sudah kenal, jadi sambil ngobrol saja,"kata Lila,Minggu (28/10).
Bukan berarti dia tak pernah merasakan penolakan. Meski telah mengenakan rompi seragam dari Puskesmas Sempu, banyak penolakan hingga cibiran yang diterimanya saat mulai membicarakan kehamilan. Mereka
tidak bersedia difoto, diambil data, dan mengatakan kegiatan pendataan seperti itu tidak akan bermanfaat.
Penolakan utamanya disebabkan karena suami dan istri yang tengah mengandung janin dan merasa malu membicarakan kehamilannya. Terutama ibu hamil yang berisiko tinggi karena usianya melebihi standar
kemanan, yakni 35 tahun, lebih tertutup daripada risiko tinggi karena faktor lain.
Namun Lila tetap melanjutkan dengan cara-cara yang lebih perlahan, sambil menawarkan sayur, tak lagi membicarakan kehamilan, namun tetap mencari informasi dan foto bumilristi secara sembunyi-sembunyi. Semua
data yang didapatkannya dikirim ke grup Whatsapp Puskesmas Sempu, sehingga kepala puskesmas bisa menugaskan bidan wilayah untuk melakukan pendampingan.
"Ibu-ibu kan dibel tit-tit-tit kan ngumpul semua untuk beli sayur, ya itu sambil ngobrol, sambil nggosip, saya cari informasi kalau-kalau di situ ada ibu hamil yang terlalu tua atau terlalu muda, pokoknya cari
yang berisiko tinggi," katanya.
Lila menerima satu unit gawai Android dari Puskesmas Sempu dan uang transport Rp 50 ribu per bulan, serta mendapatkan Rp 100 ribu per bulan dari pemerintah desa sebagai kader puskesmas. Dengan itu, pada tahun 2016 dia berhasil melaporkan 5 orang bumilristi yang perlu pendampingan, tahun 2017 sebanyak 7 orang, dan 4 orang di tahun 2018.
Begitu juga 9 perempuan mlijo lain yang juga menjadi petugas Pemburu Bumilristi Puskesmas Sempu, masing-masing di kampung tempat mereka berdagang. Mereka dikoordinir Komsati yang bertekad membantu sesama
perempuan yang sedang hamil dan berisiko tinggi sembari mencari rizki berjualan sayur keliling.
"Masak dagang sayur saja, cuma cari uang terus. Kan sekali-kali berbuat yang bermanfaat untuk wanita lain yang sedang hamil. Sebagai seorang wanita kami juga merasakan bagaimana sulitnya orang hamil, apalagi risiko tinggi. Setelah terjun begini alhamdulillah kita bisa
membantu sesama wanita," kata Komsati.
Tak ada lagi ibu hamil dan bayi meninggal dunia
Puskesmas Sempu memiliki serangkaian kegiatan dalam program Stop Angka Kematian Ibu dan Anak (Sakina) agar tidak ada lagi ibu hamil atau melahirkan dan bayi yang meninggal dunia. Tidak hanya saat awal
kehamilan terdeteksi, program itu memberikan pendampingan hingga sang bayi tumbuh menjadi balita.
Pemburu Bumilristi menjadi salah satu bagian, di samping Laskar Sakina, Motivator Asi dan Gizi, pengerahan bidan wilayah, hingga pembangunan rumah singgah bagi ibu hamil kampung dalam hutan agar
lebih aman jelang melahirkan. Sebanyak 53 orang kader puskesmas pemburu, laskar, maupun motivator telah mendapatkan pembekalan sesuai tugas masing-masing.
"Kegiatannya mulai dari deteksi dini mulai 0 bulan kehamilan, kita mengawal sampai masa nifas. Dilanjutkan mengurusi asupan Asi anak-anak agar gizi mereka terjaga," kata Kepala Puskesmas Sempu Hadi Kusairi.
Rangkaian program Sakina dibuat bertolak dari angka kematian ibu hamil dan bayi pada proses melahirkan, di wilayah kerja Puskesmas Sempuyang dulu salah satu terbanyak di Kabupaten Banyuwangi. Selama 2 tahun pada
2012 – 2013, ada 16 ibu hamil dan 28 bayi yang meninggal saat persalinan di 10 desa wilayah kerja Puskesmas Sempu, padahal sebelumnya sehat.
Rata-rata setiap tahun ada 500 ibu yang hamil di wilayah kerja Puskesmas Sempu, sekitar 100 di antaranya berisiko tinggi. Faktor risiko tinggi paling banyak disebabkan usia ibu terlalu muda atau tua, darah tinggi, ada pula karena memiliki terlalu banyak anak, di mana pernah ditemukan ada seorang ibu dengan 10 anak kandung.
Namun dengan berbagai program Sakina, sejak tahun 2016 hingga kini tidak ada lagi ibu hamil dan bayi yang meninggal dalam proses persalinan. Hadi pun memuji tim yang mendukung program tersebut, termasuk Pemburu Bumilristi yang memiliki kesadaran tinggi akan keselamatan ibu-ibu hamil langganan sayur mereka.
"Gaji memang mulai awal kita tidak mengasih, cuma kami beri uang transport dari anggaran operasional Kementerian Kesehatan sebanyak Rp 50 ribu per orang setiap bulan. Jadi semangat beliau itu, juga sisi
kemanusiaannya yang tinggi," katanya.