Wilayah Desa Wringinpitu yang sebagian besar terdapat gundukan tanah dimanfaatkan untuk memproduksi batu bata oleh warga.
Merdeka.com, Banyuwangi - Dusun Bayat, Desa Wringinpitu, Kecamatan Tegaldlimo menjadi sentra produksi batu bata di Banyuwangi. Hampir setiap rumah warga di Dusun Bayat, terdapat tumpukan tanah yang siap diolah menjadi batu bata.
Proses pengolahan tanah, pencetakan batu bata, pengeringan sampai pembakaran dilakukan dengan cara-cara manual. Mulai usia muda sampai tua terlihat sibuk bekerja. "Gelem berusaha gak ada istilah pengangguran. Di sini gak ada gengsi-gengsian, laki-laki dan perempuan mulai muda sampai yang tua semua kerja membuat batu bata," tutur Paimin (42) pengrajin batu-bata kepada Merdeka Banyuwangi, Selasa (30/8).
Paimin merupakan salah satu warga Dusun Bayat yang mengawali membuat kerajinan batu bata. Pada tahun 1992, saat Paimin masih berusia 18 tahun, dia melihat banyak tanah di desanya yang memiliki bentuk gundukan.
Agar menjadi lahan pertanian atau tanah produktif, banyak warga yang membutuhkan jasa perataan tanah. Setelah rata, tanah tersebut bisa dialiri air irigasi. "Saya waktu itu mendapat tawaran untuk memanfaatkan gundukan tanah milik warga yang ingin lahannya rata. Akhirnya saya gunakan sebagai bahan membuat batu bata," jelas Paimin.
Hasilnya, banyak warga yang tertarik mengikuti kesibukan Paimin. Hingga saat ini, sebagian besar dijual ke wilayah lokal Banyuwangi dan Bali. Dalam sehari, untuk seorang pengrajin batu bata rata-rata bisa menghasilkan hingga 600 biji. "Rata-rata 10 hari 6 ribu bata sudah dapat. Itu tak susah dengan catatan cuacanya panas seperti sekarang," ujarnya.
Paimin menjelaskan, proses pembuatan batu bata cukup sederhana. Mulanya tanah Banyuwangi wilayah selatan yang memiliki karakter lengket (ceket), cukup diberi air sedikit untuk kemudian diaduk. Cara mengaduknya masih dengan cara diiles (diinjak-injak). Selanjutnya tinggal mencetak dan dijemur.
Standart ketebalan batu bata di Dusun Bayat mencapai 5 centimeter dengan panjang 22 kali 10 centimeter. "Jemurnya sampai satu bulan. Nanti setelah kering, baru disisik (dirapikan bagian sisinya) dan persiapan dilingga (ditumpuk, persiapan dibakar)," ujarnya.
Proses pembakaran batu bata, menggunakan bahan sekam (kulit padi) dan segala jenis kayu, terutama jenis mahoni. Menariknya, bahan bakar ini bisa didapatkan warga dengan sitem pinjam.
Harga tanah dengan hasil 1000 batu bata basah harganya cukup Rp 85 ribu. Sedangkan harga batu bata kering, sebelum dibakar tiap 1000 biji naik menjadi Rp 200 ribu. Saat ini, untuk batu bata yang sudah jadi atau matang dihargai Rp 530 ribu.
"Karena sekarang musimnya panas tapi masih hujan. Jadi agak mahal. Mungkin 2-3 bulan lagi bisa turun sampai Rp 450 ribu. Pokoknya di sini kalau mau kerja gak ada istilah pengangguran," tuturnya.
Paimin memberi tahu, kualitas batu bata yang bagus bisa dinilai dari suara yang dihasilkan. Saat diketuk dengan tangan, batu bata yang bagus akan menimbulkan bunyi kenting. "Kalau warna merah belum jadi ukuran. Kalau suaranya tidak kenting berarti jemurnya kurang," ujarnya.
Sementara itu, Budi Purnomo, Kepala Desa Wringinpitu menjelaskan produksi batu bata sekali bakar bisa mencapai 10 ribu sampai 20 ribu biji. "Itu di tiap-tiap rumah rata-rata segitu. Paling banyak di Dusun Bayat," tuturnya.
Dia juga mengatakan wilayah Desa Wringinpitu memang sebagian besar terdapat gundukan tanah. Usai diratakan untuk pemanfaatan bahan batu bata, lahan-lahan pertanian tersebut menjadi produktif. "Dulunya wilayah ini sebagai tadah hujan, pertaniannya tidak luas. Setelah rata tanah yang tinggi itu jadi tanah produktif, ditanami buah jeruk dan buah naga," jelasnya.
Saat ini jumlah warga Desa Wringinpitu mencapai 9 ribu orang, dengan rata-rata bekerja sebagai perajin batu bata.