Upaya mempertahankan NKRI dari serangan militer KNIL Belanda terjadi pada 21 Juli 1947
Merdeka.com, Banyuwangi - Untuk memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, jajaran TNI, Polri, PNS, Pegawai ASDP serta pelajar, melakukan upacara sekaligus tabur bunga di Selat Bali. Tabur bunga di Selat Bali ini merupakan simbol untuk memperingati detik-detik akhir perjuangan para pahlawan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Banyuwangi dalam agresi militer I tahun 1947.
Upacara tabur bunga dimulai Pukul 05.30 WIB di atas kapal KMP Edha yang sandar di Dermaga Ponton, Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Upacara tabur bunga ini dipimpin oleh Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Banyuwangi, Letkol Laut Nazarudin, sekaligus secara simbolis melakukan penaburan bunga dan melempar karangan bunga ke laut.
Usai upacara, jajaran Muspida Banyuwangi dan seluruh peserta juga terlihat mengikuti rangkaian tabur bunga. Meski dilakukan secara singkat, upacara tabur bunga ini memiliki makna mendalam dan sangat dekat dengan obyek historis terjadinya peristiwa patriotik.
Berdasarkan catatan monumen di Taman Makam Pahlawan Wisma Raga Satria Staria Laut Pasukan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Pelabuhan Boom, disebutkan ada 21 anggota ALRI yang bertempur mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda di Selat Bali.
Mengenang kisah kepahlawanan
Upaya mempertahankan NKRI dari serangan militer KNIL Belanda terjadi pada 21 Juli 1947, saat warga Banyuwangi menunaikan ibadah Puasa. Sejak dini hari, tentara Belanda sudah membombardir sisi Pantai Banyuwangi.
Pasukan ALRI 0032 yang sudah menjaga di sisi Pantai Boom, ternyata dikelabui dengan mondar mandirnya perahu boat yang dinilai akan membawa pasukan Belanda. Akibatnya, komunikasi dengan aparat pertahanan di Kota Banyuwangi terganggu. Dan ternyata pasukan KNIL Belanda sudah berhasil menerobos masuk di jantung pertahanan pada pukul 12.00 WIB.
"Pasukan Belanda berhasil mendarat di Pelabuhan Ketapang, kemudian memasuki Kota Banyuwangi dan menerobos kubu pertahanan ALRI pasukan 0032 di bawah pimpinan Letnan Soeleman," demikian penggalan cerita sejarah yang ditulis di monumen tersebut.
Saat itu, kondisi pasukan ALRI di bawah pimpinan Soeleman tidak mengetahui bila Belanda sudah berhasil menerobos masuk. Semula, ALRI tidak percaya kalau asal tembakan dari Belanda dan dikira dari teman sendiri yang bermarkas di Inggrisan.
"Maka dengan gagah berani, Sersan Mayor Puji Harjo naik ke tanggul perlindungan mengibarkan bendera merah putih seraya berteriak; teman sendiri Bung! Jangan tembak. Ternyata yang diteriaki adalah Belanda. Teriakan tersebut justru dibalas dengan tembakan peluru yang membuat Mayor Puji Harjo gugur."
Sadar ternyata musuh, terjadilah pertempuran sengit. Pasukan ALRI 0032, diserang dari berbagai arah. Dihujani meriam dari kapal perang Belanda di Ketapang dan dijatuhi bom dari pesawat angkatan udaranya. Berikutnya Letnan Soeleman memerintahkan anak buahnya terus bertempur sambil bergerak mundur melewati muara hingga cuaca gelap dan kehabisan amunisi dan 21 pasukan ALRI tertangkap.
Setelah tertangkap, mereka disiksa. Dipopor dengan senjata, ditelanjangi, serta para komandan dipaksa memakan mata uang rupiah dan surat kabar Merdeka. Para tawanan diarak menuju markas dengan posisi tangan diikat di belakang bergandengan.
Komandan Seksi Letnan Soeleman sempat protes agar diperlakukan sebagai tawanan sesuai hukum internasional, kemudian meminta diberi kesempatan mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu kebangsaan dan teriak merdeka tiga kali. "Permintaan itu tidak digubris. Melainkan dijawab dengan kokangan Sten-Gun."
Dari 21 pasukan yang ditawan, 6 pasukan berhasil lolos dan selamat. Antara lain Sersan Soecipto, Kopral Soebadi, Prajurit Satu; Sahal, Soekima, Turmudi dan Karjono. Dari kesaksian mereka ini lah cerita singkat sejarah ini bisa disusun.