"Harus bahan alami, tanpa bahan kimia, nanti pasti dicari orang sendiri. Itu prinsipku," kata Nadir.
Merdeka.com, Banyuwangi - Mbah Juanik (80), begitu dia akrab disapa. Terlihat sibuk melayani pelanggannya yang membeli jajanan tradisional khas Banyuwangi. Potongan kertas minyak dan koran, dia gunakan untuk membungkus jajanan puthu, glempang, uceng-uceng, orog-orog dan cenil.
Setiap sore, Mbah Juanik ditemani cucunya Muhamad Nadir (22), membuka lapak jajanan tradisional khas Banyuwangi di samping Jalan Agung Suprapto, Kelurahan Mojopanggung, Banyuwangi.
Saat melintas, lapak dengan nama 'Kue Khas Banyuwangi Puthu Srikandi' terlihat jelas beragam jajanan tradisional di tata rapi dalam rak kaca. Terutama untuk jenis glempang, uceng-uceng, orog-orog dan cenil.
Sedangkan khusus untuk jajanan puthu, memang disajikan dengan cara lebih unik. Bila ada pembeli, Nadir yang kebagian tugas untuk mengolah jajanan puthu, terlebih dahulu menyiapkan cetakan kue dari bambu.
Kemudian memasukkan adonan tepung puthu yang sudah dikukus ke dalam cetakan. Bagian tengah cetakan, dia masuki taburan gula merah. Lantas satu per satu cetakan yang berisi adonan puthu diletakkan di atas semburan uap panas. Uap tersebut, berasal lubang-lubang alumunium yang di dalamnya terdapat rebusan air.
"Tiga menit sudah matang. Pakai media asap ini cuma untuk memadatkan tepung. Kalau tepungnya ini sendiri sudah dikukus mateng," kata Nadir kepada Merdeka Banyuwangi sambil sibuk membuat jajanan puthu, Rabu (16/11).
Mbah Juanik sendiri, bila senggang tidak ada pembeli, dia sempatkan untuk memarut kelapa. Semua jajanan tradisional yang dia jual, selalu diberi taburan kelapa ditambah gula pasir.
Saat ditanya sejak kapan jualan jajanan tradisional khas Banyuwangi, Mbah Juanik sudah tidak ingat. Yang pasti harga beras saat itu masih Rp 300 rupiah. "Pokoke regone beras mageh Rp 300," ujarnya dalam logat Jawa.
"Kira-kira sudah jualan selama 37 tahun lebih. Sebelumnya almarhum bapak saya, Mulyono yang menemani selama 20 tahun. Sekarang cucunya yang gantikan," ujar Nadir membantu menjelaskan.
Semua jajanan tradisional yang dijual, kata Mbah Juanik, menggunakan bahan dasar tepung beras. Seperti puthu, uceng-uceng, cenil dan orog-orog. Yang berbeda bahan, hanya jenis glempangan dibuat dari adonan pati aren dicampur dengan irisan pisang.
"Glempang ini jajanan tradisional paling tua. Pati arennya diambil dari Licin, di sana yang ada. Campuran pakai pisang sempring, lempeneng, agung," kata Mbah Juanik.
Dari ketekunan Mbah Juanik, Masyarakat Banyuwangi akhirnya masih bisa bernostalgia dengan jajanan kuno yang menyehatkan ini. Apalagi, kata Nadir, saat ini jajanan tradisional sudah mulai jarang ditemui akibat banyaknya jajanan instan.
Selama membuat jajanan tradisional, dia bersama Mbah Juanik punya prinsip. Tidak mau menggunakan bahan kimia yang bisa membahayakan pembeli. Seperti pewarna jajanan puthu, Mbah Juanik menggunakan daun pandan.
"Harus bahan alami, tanpa bahan kimia, nanti pasti dicari orang sendiri. Itu prinsipku. Kalau pakai bahan kimia, mending gak usah jualan, soalnya sama saja seperti meracuni orang kan," ujar pria lulusan Tata Boga yang fokus di bidang koki ini.
Dari situ, pelanggannya tidak hanya dari wilayah Kota Banyuwangi. Banyak dari luar kecamatan juga datang hanya untuk membeli jajanan tradisional ini.
"Ini barusan dari Muncar yang beli. Pelanggannya sering banyak dari orang terapi. Yang butuh makanan sehat," ujarnya.
Selain itu, saat ulang tahun Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, kata Nadir, juga memborong satu tumpeng jajanannya.
"Pak Anas waktu ulang tahun kemarin juga belinya ke sini. Saya tahu soalnya, kalau ada yang pesan banyak selalu saya tanya buat apa," paparnya.
Urusan rasa, jangan ditanya. Seperti jajanan puthu dan orog-orog terasa sangat lembut dan sedikit kenyal saat dikunyah. Aroma daun pandan juga terasa dalam tiap gigitan jajanan puthu. Istimewa lagi, untuk rasa jajanan glempang. Rasa pati aren sangat nikmat ditambah dengan kukusan pisang di dalamnya.
Bila memesan, dari masing-masing jajanan dicampur jadi satu dan diberi taburan parutan kelapa, dihargai Rp 8000. Sama halnya, bila ada yang pesan puthu saja. Satu porsi dengan isi 10 biji juga dihargai Rp 8000.
"Campur macem dua harganya Rp 5 ribu. Paling rendah harganya Rp 3 ribu itu kalau satu macam.Tapi kebanyakan orang-orang beli Rp 5 ribu," ujarnya memungkasi.