1. BANYUWANGI
  2. PROFIL

Kisah penyair Chairil Anwar, sang pemberontak anak dari bupati di Riau

Chairil memang tipikal pemberontak. Hidupnya nyaman tapi gelisah.

Penulis buku biografi Chairil Anwar, Hasan Aspahani. ©2017 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Rabu, 03 Mei 2017 13:21

Merdeka.com, Banyuwangi - Chairil Anwar, penyair besar Indonesia angkatan 45 yang menjadi pelopor puisi modern, punya kisah menarik. Sebelum menulis puisi terkenal berjudul "Aku" dan "Karawang Bekasi", ada satu kisah masa transisi kehidupan Chairil yang mewah, kemudian memutuskan keluar dari zona nyaman menjadi gelandangan.

Cerita tersebut disampaikan Hasan Aspahani, penulis buku biografi Chairil Anwar saat berkunjung ke Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Kabupaten Banyuwangi, beberapa waktu lalu.

Hasan melakukan penyusunan naskah biografi Chairil lewat penelusuran data historis dengan mewancarai anak dan adik tiri Chairil.

Dia bercerita Chairil hidup di lingkungan keluarga yang kaya. Bapaknya, Toeloes merupakan Bupati Indragiri Hulu, Riau, pada masa pendudukan Kolonial Belanda.

Pada tahun 1940 saat Chairil kelas dua di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dia pindah ke Batavia (Jakarta) bersama Ibunya. "Apalagi orang bisa sekolah di MULO (setingkat SMP) enggak mungkin kalau enggak kaya dan hanya anak pejabat yang berkesempatan. Kemudian dia pindah ke Batavia kelas dua. Tapi tahun 1942 itu Jepang masuk, dia enggak bisa ngelanjutin," jelas Hasan kepada Merdeka Banyuwangi usai bedah buku kumpulan puisi The Sunrise of Java.

Saat Jepang memasuki Batavia, seluruh pelajar asal Sumatera dipulangkan menggunakan kapal besar. Teman-temannya seperti Asrul Sani, Sitor Situmorang yang ternyata juga menjadi seorang penyair besar, memutuskan untuk pulang. Sementara Chairil sendiri tidak mau, dia tetap ingin tinggal di Batavia.

"Chairil tidak mau pulang. Kalau pulang beres hidupnya kan, wong dia anaknya orang kaya," ujar Hasan.

Hasan melanjutkan, Chairil memang tipikal orang yang keras. Apapun yang dia inginkan harus dipenuhi, termasuk tetap ingin tinggal di Batavia.

Namun saat itu hubungan Jawa dan Sumatera sedang terputus. Sumatera masih dikuasai angkatan darat Belanda yang berseberangan dengan pasukan militer Jepang. Kondisi demikian membuat Chairil tidak mendapat kiriman uang dari Ayahnya. Hal yang tidak terduga tersebut membuat Chairil harus keluar dari zona nyaman. Sementara Chairil sudah terbiasa hidup di lingkungan keluarga kaya, berpenampilan rapi dan makan enak.

"Akhirnya menggelandanglah dia karena Bapaknya tidak bisa kirim duit. Sampai nyuri (mencuri) sepeda dan dijual, ya karena itu, karena terbiasa hidup kaya, parlente, rapi. Terus enggak punya duit, mau ngapain, ya nyuri dia," katanya.

Namun Hasan menilai, bila Chairil kembali pulang ke Sumatera bersama teman-temannya, dia tidak akan pernah menjadi penyair besar. Sebab puisi-puisinya yang terkenal seperi "Aku" dan "Karawang Bekasi" lahir dalam jiwa zaman pendudukan Jepang di Jawa.

"Kalau dia pulang kita enggak punya Chairil. Saya kira gitu. Karena Chairil berkembang menjadi penyair besar dari karyanya selama tahun 1942-1943 itu," ujarnya.

Chairil lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta pada tahun 1949 saat usianya masih 27 tahun. Dari periode menulis 1942-1949, Chairil sudah menulis sekitar 75 puisi. Hingga saat ini, pada tanggal 28 April di hari kematiannya ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.

Dari temuan Hasan, Chairil memang tipikal pemberontak. Hidupnya nyaman tapi gelisah. Pada usia belasan, Chairil sudah membaca buku-buku dari berbagai bahasa, mulai Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis.

"Dia bisa baca karya penyair sezamannya, padahal belum zamannya internet. Anak sekarang saja, usia SMP siapa yang baca buku teks Inggris?," ujar Hasan coba membandingkan.

Dari puisinya, Chairil menjadi pelopor mode pengucapan sajak bagi penyair-penyair sezaman dan setelahnya. Seperti membolak-balik susunan kata dari "ini" dan "itu".

"Contoh ini tubuh, menjadi itu tubuh dan 'ini barisan tak bergenderang tak berpalu'. Harusnya kan 'barisan ini tak bergenderang berpalu'. Tapi kita sekarang sudah biasa menerima model susunan kata seperti itu," kata Hasan.

Hasan baru menyadari bahwa itu menjadi bagian penting yang belum ditulis dalam bukunya.
"Waktu nulis buku enggak kepikiran kalau itu penting," ujar dia.

(FF/MUA)
  1. profil
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA