Inilah Indonesia, surganya wisata alam.
Merdeka.com, Banyuwangi - Siang itu para pengunjung Oseng Culture Festival diajak berkeliling menyusuri wisata alam Desa Banjar, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Minggu (8/5). Sebuah pikap dengan bak terbuka terlihat siap mengantarkan rombongan, menuju surga Alam Desa Banjar.
Penasaran dengan keindahan wisata alam Desa Banjar, tanpa ragu-ragu para peserta tracking segera naik ke bak pikap. Ada yang loncat, naik dari samping, dan bergelantungan lewat besi pembatas. Sekali antar, bak pikap menampung sekitar 10 orang.
Perjalanan dengan mobil gerobak, dilalui dengan jalanan naik-turun disertai segarnya udara Desa Banjar. Peserta tracking diantar hingga sampai di lokasi perjalanan yang sesungguhnya. Sejumlah 24 orang siang itu telah berkumpul di tepi surga alam Desa Banjar. Bentang hijaunya sawah terasiring dan rindang pohon kelapa, sudah terlihat dari muka.
Sebelum jalan kaki menyusuri keindahan Desa Banjar, Agus, pemandu peserta tracking memberi sedikit gambaran tentang beberapa lokasi yang akan dilalui.
“Nanti kita akan melalui kebun manggis, pala, dan istirahat melihat pemandangan sawah sambil minum buah kelapa. Kemudian dilanjutkan melihat proses membuat gula aren, sambil makan-makan di sana. Sebelum berangkat, mari kita berdoa dulu” ujarnya.
Pertama, rombongan diajak keliling menyusuri sawah dan perkebunan. Lewat perkebunan kopi, durian, manggis dan pala. Sesaimpai di bawah pohon pala, rombongan berhenti. Agus lantas mengambil satu biji buah pala untuk dibelah.
“Ini yang membuat Belanda dan bangsa Eropa menjajah Tanah Air,” jelasnya. Kebetulan, dari rombongan ada dua wisatawan asing, dari Spanyol dan Jerman. Saat menyusuri persawahan, para petani akrab menyapa. Ada yang sedang mencangkul, membersihkan rumput, dan memetik sayur genjer.
Sekitar pukul 12.00 WIB, rombongan sampai di bukit persawahan paling tinggi Desa Banjar. “Coba kamu amati dari sini, selat Bali bisa tampak dari sini,” jelas Agus. Memang benar, terutama saat cuaca sedang baik, maka wajah kota Banyuwangi akan terlihat, sekaligus bentang lautnya.
Usai menikmati pemandangan sambil menikmati kelapa muda, sambil diiringi musik angklung, rasa penat hilang seketika. Perjalanan lantas dilanjutkan ke lokasi Sadap Nira atau lokasi pengambilan sari pohon aren.
Haini, yang sudah 50 tahun menjalani aktivitas sadap Nira menjelaskan, masyarakat Desa Banjar sudah turun temurun diajari menyadap sari pohon aren. Caranya pun tidak sembarangan, butuh beragam doa dan cara agar menghasilkan nira yang maksimal. Mulanya, bunga aren harus diikat, lantas dipukul-pukul bagian tangkainya, agar keluar sarinya.
“Dipalu, terus diayun. Empat paluan, seminggu sekali. Bila sari kembang keluar air, namanya kemapur. Berarti siap untuk diiris. Ngirisnya Itu ada bismilahi. Mukulnya (dipalu) ada niatnya juga biar sarinya keluar. Tiap pohon warna bunganya gak sama. Ada hijau, merah. Kadang yang lemes tangkainya gampang keluarnya,” papar Aini.
Pohon aren, bisa memiliki ketinggian mencapai 15 meter. Dengan tangga bambu yang dilubangi, para penyadap nira setiap pagi akan mengambil sari aren. “Satu tangkai ini meskipun satu tahun tidak akan habis,” lanjutnya.
Hal yang harus diperhatikan saat mengambil sari aren, yakni membawa tali wancing. Tali tersebut berfungsi untuk mengikat badan penyadap dengan pohon. “Yang paling penting harus ada tali wancing ini. Soalnya banyak orang yang jatuh kalau tidak bawa,” jelas Mashuri, juga salah satu penyadap nira.
Usai melihat beragam pohon aren yang masih dalam proses disadap, rombongan diajak melihat cara pembuatan gula aren. Di sana, rombongan juga disambut dengan kuliner nasi lemang dan utek-utek.
Nasi lemang merupakan olahan nasi dicampur santan dan daging yang dikukus. Baru dibungkung dengan daun pisang dan dimasukkan ke dalam bambu untuk dibakar dengan arang. Sedangkan utek-utek, merupakan sari nira yang sudah dimasak, lantas dituang di atas daun pisang hingga berbentuk bulat-bulat. Bila sudah membeku, jadilah gula merah bernama utek-utek.
Di lokasi warga Desa Banjar menyadap nira inilah, rombongan benar-benar merasakan kuatnya nilai tradisional di sana. Usai bambu-bambu berisi nasi lemang dibakar, satu per satu dibelah, lantas disajikan kepada rombongan.
Saat dibelah dan dimakan bersama, rasa nasi lemang benar-benar lembut, rempah dan daging yang bercampur menjadi satu terasa lekat. Seolah, tidak ada aroma yang hilang. Semua masih tersimpan hingga matang.
Urusan minum, warga Desa Banjar menyajikan air yang dituang di dalam kendi. Cara penyajiannya pun tanpa menggunakan gelas. Sehingga, rasa segar benar-benar terasa saat minum dengan cara menenggak. Usai makan, sambil duduk-duduk, para rombongan dipersilakan menikmati utek-utek yang sudah mengeras, hangat dan siap dimakan.
Penasaran, silahkan mampir di Desa Banja.