"Gila itu karyanya. Aku tuh sampai mau nangis nontonnya, ikut kebawa, jadi ingat bapakku deh habis nonton ini," puji Teuku.
Merdeka.com, Banyuwangi - Aktor kenamaan Indonesia Teuku Rifnu Wikana mengaku kagum dengan film dokumenter karya anak asli Banyuwangi yang berjudul Tumiran. Pujian ini dilontarkan usai Teuku menyaksikan acara nonton bareng yang merupakan rangkaian acara Apresiasi Film Indonesia 2017 yang digelar di Gedung Seni Budaya Banyuwangi, Jumat malam (24/11).
Acara nonton bareng (nobar) ini digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai penyelenggara AFI. Pada hari pertama nobar, ditampilkan Film Tumiran karya Vicky Hendri Kurniawan, putra daerah Banyuwangi.
Film Tumiran merupakan film dokumenter yang mengisahkan Tumiran, seorang pelaku ritual keboan. Keboan adalah tradisi asli masyarakat Using Desa Aliyan Rogojampi Banyuwangi untuk Ngalap Berkah. Tradisi ini digelar setiap bulan Suro Penanggalan Jawa, di mana sejumlah warga desa pria kerasukan dan bertingkah laku seperti kerbau.
Teuku Rifnu mengatakan sangat terkejut dengan film dokumenter Tumiran yang dia saksikan karena menurutnya film tersebut dikemas dengan sangat bagus. Bahkan, pemenang pemeran utama pria terbaik Festival Film Indonesia 2017 ini, sempat meragukan jika film tersebut dibuat oleh anak muda asli Banyuwangi.
"Gila itu karyanya, cara dia mengemas film itu keren banget. Aku tuh sampai mau nangis nontonnya, ikut kebawa, jadi ingat bapakku deh habis nonton ini," kata Teuku Rifnu usai menyaksikan film tersebut.
Teuku mengatakan cara sang pembuat film menampilkan realitas keseharian Tumiran yang seorang nelayan di Pulau Lombok, hingga akhirnya bertransformasi menjadi seorang Keboan di Banyuwangi ditampilkan sangat apik. Bahkan Teuku berani menyandingkan film tersebut dengan film-film dokumenter berkualitas nasional lainnya.
"Kalau disuruh jagokan di antara film film dokumenter lainnya di Indonesia, aku pasti pilih itu film (Tumiran-red). Aku bahkan turut bangga filmku nanti juga akan diputar di nobar ini nanti bareng sama film dia," ujarnya.
Nobar ini digelar selama dua hari, 24 – 25 November di tempat yang sama. Pada hari pertama menampilkan film Tumiran, dan hari ini akan diisi Film Mencari Hilal dan Night Bus.
Pujian yang sama juga diberikan oleh aktris senior Niniek L. Karim. Menurut Niniek, film Tumiran ini dibuat dengan detail sehingga penonton ikut terlarut pada kisahnya. Film ini membuat Niniek jadi merasa tumbuh kepedulian pada nelayan yang hidupnya masih banyak dalam kondisi memprihatinkan.
Tumiran dikisahkan sebagai nelayan yang tinggal di Lombok, dan setiap tahun dia pulang ke tanah leluhurnya di Banyuwangi dan siap menjalani tradisi Keboan. "Menonton ini kita diajak tertawa, terharu, sedih sampai ingin berbuat sesuatu untuk nelayan Indonesia. Karya anak muda seperti ini patut untuk diapresiasi dan disupport terus oleh berbagai pihak," ujarnya.
Film Tumiran ini dibuat pada tahun 2013. Film ini pernah memenangi piala Ki Dewantara di ajang AFI 2015. Film ini juga sempat diputar di Pameran ISI Malaysia (2014), Indo Film Cafe Belanda (2015), dan Frankfurt Book Fair (2015).
Sementara itu sang sutradara Vicky, mengatakan sangat senang filmnya bisa diputar kembali di ajang AFI. "Senang sekali, bisa diputar di ajang besar perfilman Indonesia AFI ini, apalagi pelaksanaannya di tanah kelahiran sendiri. Ini sesuatu yang tak ternilai bagi saya," kata Vicky.
Vicky bersama pemuda desa lainnya mendirikan Banyucindih Creative yang bergerak di bidang video kreatif. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini beberapa kali mendapat tawaran pekerjaan dari PH (production house) dan stasiun televisi nasional. "Saya maunya berkarya di sini saja. Di desa saya, di tanah kelahiran saya," ujarnya.
Teuku Rifnu nonton bareng film Tumiran bersama dengan senior perfilman tanah air seperti Niniek L. Karim, Slamet Raharjo, dan Tio Pakusadewo. Nonton bareng juga dihadiri ratusan penggemar film Banyuwangi.