Pohon ini ternyata gak terlalu asing bagi orang Indonesia bahkan sebagian dari kita mungkin sudah pernah menyentuhnya.
Merdeka.com, Banyuwangi - Pohon aren bagi masyarakat Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi dinilai sebagai pohon yang setia pada manusia. Setiap petani yang menyadap sari gula (sajeng) pohon aren tidak boleh berganti-ganti pakaian.
Ainul Rofik (56) sudah puluhan tahun menekuni sadap sajeng aren. Setiap berangkat dari rumah menuju kebun, dia sudah menyiapkan baju khusus yang dipakai setiap menyadap sajeng aren.
"Ganti baju saja tidak bisa. Istilahnya bisa ngambul pohonnya," ujar Rofik kepada Merdeka Banyuwangi (10/2).
Saat menyadap sajeng aren, setiap petani harus memiliki hati yang bersih. Seperti tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Berbagai doa juga dirapalkan setiap proses menyadap. Semua dilakukan agar air sajeng aren bisa keluar banyak.
Ketika sajeng aren hanya keluar kurang dari dua liter atau hanya seukuran satu gelas, maka setiap petani harus evaluasi diri. Seperti memperbaiki sikap dalam bermasyarakat, kejujuran, memperbanyak doa dan memastikan tidak gonta-ganti baju.
"Jadi termasuk tanaman setia sama orang. Ambilnya harus hati yang bersih," jelas Rofik.
Bila pohon aren yang dinilai sudah mau mengeluarkan sarinya secara maksimal, setiap hari petani bisa panen 20 liter sejeng aren. Produktivitas sajeng aren bisa bertahan sampai 5 bulan. Namun ada beberapa yang mulanya tidak percaya dengan konsep kesetiaan pohon aren.
"Ada yang sering ganti baju, baru satu minggu sudah mati, tidak mau keluar sajengnya. Padahal bisa sampai 5 bulan," ujar dia.
Masyarakat Desa Banjar mempercayai, ketika gonta-ganti baju pohon aren akan sulit mengenali aroma tubuh dan baju petani yang memilikinya. Sehingga perlu menggunakan satu baju khusus yang dipakai setiap mengambil sajeng aren.
Pohon aren di Desa Banjar, kata Rofik tidak ditanam secara massal. Dia tumbuh secara alami di kebun-kebun milik warga. Setiap warga rata-rata memiliki 5 sampai 20 pohon aren.
Relasi petani sadap dengan pohon aren dimulai dari proses awal. Ketika pohon aren mulai berbunga dan siap disadap, mulanya harus diikat secara rapi pada sore hari. Warga menyebutnya dengan "didandani" agar tampak rapi. Kemudian bagian tangkai bunga aren dipukuli sambil membaca doa. Itu dilakukan lima sampai enam kali dengan jeda lima hari sekali. "Kemudian dipotong ujungnya, menetes sudah," lanjutnya.
Dalam sehari Rofik bisa mengolah sajeng aren menjadi gula 5-7 kilogram. Warga menjual dengan harga mencapai 70 kilogram. "Jualnya sesuai kualitas dan ukuran. Gula aren di mana-mana ada seperti di Kecamatan Glagah, tapi tidak diolah," Ujar Ketua Adat Desa Banjar, Lukman Hakim.
Agar harga gula aren yang bisa menjadi obat ini lebih terjangkau, pihaknya ingin membuat fetival gula aren agar di kecamatan lain bisa memanfaatkan aren untuk diambil sarinya menjadi gula. "Kami mengadakan festival gula aren, sebenarnya untuk mereka juga," ujarnya.