1. BANYUWANGI
  2. GAYA HIDUP

Kisah bermain seru-seruan anak logam di Pelabuhan Ketapang

Mereka tidak hanya sekadar mencari uang, banyak dari mereka hanya untuk bermain di air. Ada keseruan di sana.

©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Kamis, 21 April 2016 11:28

Merdeka.com, Banyuwangi - Sore itu, anak-anak logam di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi terlihat sedang duduk menunggu rombongan penumpang kapal datang. Puluhan anak logam ini duduk di atas bebatuan tepi laut. Tepatnya di bawah jembatan para penumpang yang turun dari kapal menuju daratan. Ada yang masih usia anak-anak sampai dewasa. Laki-laki juga perempuan.

Istilah anak logam seringkali digunakan untuk menyebut anak-anak yang mencari uang di Pelabuhan Ketapang. Caranya unik, terlebih dahulu anak-anak logam menarik perhatian para penumpang dengan berenang di samping badan kapal atau jembatan. Ada yang melompat lewat pinggir jembatan dan salto dari atas kapal.

Dari situ anak logam berharap para penumpang melemparkan sejumlah uang ke laut. "Minta uangnya, ayo dilempar,” teriak anak-anak logam tersebut sambil berenang di permukaan laut. Saat melihat gerombolan penumpang melewati jembatan.

Setelah beberapa penumpang terlihat melemparkan uang, anak-anak logam dengan lincah berenang. Berebut mengambil uang. Ada yang menggunakan alat seperti sepatu katak dan kecamata renang. Tapi sebagian besar tidak.

Sebut saja namanya Soni, salah satu anak logam senior yang tidak bersedia disebut identitas aslinya bercerita kepada Merdeka Banyuwangi. Sebagian besar anak-anak logam tersebut sudah putus sekolah SD. Ada juga yang sudah menikah masih menjadi anak logam.

“Kalau usia mulai SD kelas satu sampai yang sudah menikah ada. Saya sampai sekarang juga masih,“ jelasnya, Rabu (20/4). Berbeda dengan lainnya, hingga saat ini Soni masih melanjutkan sekolah tingkat SMA di kelas satu.

“Itu Cristin, usianya masih sembilan tahun, sudah kelas tiga SD berhenti. Amin itu itu tujuh tahun. Itu ponakan saya. Dia masih sekolah, kelas dua SD. Yogi yang besar itu, masih SMP kelas dua. Mereka tinggalnya di sekitar pelabuhan sini saja,” ujarnya coba mengenalkan satu per satu dari anak logam yang sedang berkumpul.

“Saya Rani kelas tiga,” celetuk seorang anak logam perempuan coba mengenalkan diri. Rani juga sudah putus sekolah sejak kelas tiga SD.

Soni sendiri, sudah menjadi anak logam sejak duduk di bangku SD. Dia melanjutkan, para anak logam seringkali ‘bekerja’ sambil menghibur penumpang di pagi hari, sore dan malam.

“Pagi saja, terus sore. Kalau malam biasanya mulai habis isya sampai subuh. Kalau siang panas. Kadang-kadang ada yang tinggal di sana. Tidur di pelabuhan sana. Tidur di jembatan itu kadang,” jelasnya. Sesekali Soni juga tidur di jembatan tersebut.

Soni menilai, keberadaan anak-anak logam di pelabuhan ada faktor kebutuhan ekonomi sekaligus bermain. “Dua-duanya kayaknya. Gak murni kebutuhan. Jalan jalan juga. Ada yang cuma seneng-seneng juga. Ada yang bisa dibilang jadi profesi, sudah ada yang berkeluarga soalnya,” ujarnya.  

Tiap harinya, kata Soni, anak-anak logam tersebut bila beruntung bisa mendapatkan uang sampai Rp 100 ribu. Terutama saat musim liburan, banyak penumpang yang membutuhkan jasa penyeberangan dari Banyuwangi ke pulau Bali atau sebaliknya.

Saat ditanya, untuk apa uang tersebut, beberapa anak logam ada yang menjawab untuk ditabung, dikasihkan orangtua, dan beli jajan.

Pembagian wilayah kerja

Selat yang memisahkan pulau Bali dengan Banyuwangi berjuluk the sunrise of java ini, terkenal dengan arus derasnya. Hal ini kata Soni juga disadari oleh anak-anak logam. Beberapa anak logam dewasa juga seringkali mengingatkan yang usia anak-anak. Agar mencari uang di pinggir saja, samping jembatan.

“Iya yang kecil kecil enggak boleh di tengah (usia SD). Yang dewasa di tengah. Ada yang karena khawatir, ada juga iri, dipinggir dapet nanti di tengah juga dapet. Minggir nengah- minggir nengah tok,” jelasnya.

“Kalau dipinggir nunggu kalau ada rombongan lewat (jembatan). Kalau di tengah dari penumpang waktu di atas kapal,” lanjutnya.

Untuk anak logam kategori dewasa, biasaya akan menunggu kapal berlabuh. Jarak beberapa puluh meter sebelum berlabuh, anak-anak tersebut akan loncat, berenang menjemput kapal. Lantas akan pegangan di bagian dampra (ban di samping badan kapal), “Pegangan di situ, sampai kapalnya minggir,” tuturnya.

Berbeda dengan kondisi kapal yang akan berangkat dari pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk. Anak-anak logam biasanya ikut naik sampai beberapa meter dari tepi pelabuhan. Lantas loncat untuk berenang bersama sampai ke tepi.

“Kalau dirasa jauh terus lompat. Kalau arusnya keras ya loncat, gak terlalu jauh,” jelasnya. Untuk soal ini, kata Soni seringkali hanya untuk senang-senang saja. Tentunya juga berharap ada yang mau memberi uang saat ikut naik di atas kapal.  

“Ya biasanya penumpangnya yang request. Biasanya anaknya nawarin. Nawarinnya, Mas loncat nanti aku kamu kasih uang. Kalau orangnya baik dikasih sepuluh ribu, lima ribu,” tuturnya.  

Saat posisi anak logam di permukaan laut, bila dilempari uang kertas kata Soni akan selalu berebut. Apalagi kalau warnanya merah, dan terlihat uang Rp 100 ribu. “Itu rebutan, cepet cepetan. Cakar cakaran, tarik tarikan. Kadang kadang sampai berantem. Sampai pinggir damai lagi,” ujarnya sambil tertawa.

(MH/MUA)
  1. Wisata Pantai
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA