Disebut jaranan karena pertunjukan kesenian ini identik dengan penari yang kerasukan makhluk halus.
Merdeka.com, Banyuwangi - Pertunjukan seni tradisi Jaranan di Banyuwangi hingga saat ini masih populer. Kesenian ini biasa digelar untuk memeriahkan acara khitan atau sunatan. Anak yang habis dikhitan, biasanya akan melihat pertunjukan Jaranan dari atas panggung.
Sore itu, hujan masih saja mengguyur Desa Margomulyo, Kecamatan Glenmore. Namun pertunjukan seni Jaranan di antara perkebunan kopi, terus dilanjutkan. Tanah yang becek disertai lumpur justru menambah kesan angker para pemain jaranan. Setiap penari jaranan membawa cambuk lalu mencambuki ke tanah, bahkan ke kaki dan tubuhnya sendiri.
Para penonton yang melihat tetap terlihat tenang. Meski hantaman cambuk membuat lumpur-lumpur mengenai penonton, tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukan rasa emosi. Meski sesekali juga menghindar, takut bila cambuk sewaktu-waktu bisa mengenai mereka.
Dari pantauan Merdeka Banyuwangi, mulai dari Anak-anak, remaja, hingga orang tua terlihat bergerumbul menyaksikan pertunjukan jaranan di rumah Pak Husen ini. Mulai pagi hingga sore, warga rela menyaksikan sambil berdiri. Ada juga sambil jongkok dan duduk di teras.
“Semua penonton tidak ada yang emosi. Soalnya yang jadi jaranan pasti sedang kerasukan makhluk halus. Karena kerasukan itu yang membuat acara ini terus ramai,” jelas salah satu dukun, Afif yang bisa memulihkan penari jaranan yang kerasukan.
Disebut jaranan, karena pertunjukan kesenian ini memang identik dengan penari yang kerasukan makhluk halus. Bila sudah kerasukan akan disebut sudah “njaran” atau “ndadi”.
Uniknya, pertunjukan seni Jaranan di Kalibaru ini tidak hanya para penari yang menjadi jaranan. Penonton sewaktu-waktu juga bisa kerasukan setan atau makhluk halus, lantas ikut menjadi aktor dalam pertunjukan tersebut.
“Ini yang jadi jaranan sebagian besar penonton. Ada anak (Kecamatan) Kalibaru, Glenmore,” ujar Afif.
Dia melanjutkan, para penonton yang kerasukan dan menjadi penari jaranan tersebut tidak kenal usia. Ada yang masih SMP sampai usia dewasa. “Pokoknya yang pengen main (ikut serta) tubuhnya bisa dibuat agar biar kerasukan,” jelasnya.
Media agar tubuh penonton dirasuki setan, cukup menggunakan beras kuning, dan minyak khusus, kemudian ditaruh di bagian hidung agar mencium aromanya. “Kadang sama teman-temannya sendiri dikerjai, biar kerasukan dan ikut jadi jaranan,” terangnya.
Sepanjang acara jaranan berlangsung, para penari diiringi dengan musik khas daerah. Di antaranya menggunakan gendang, gamelan dan seruling. Meski terdengar khas dengan bunyi musik Ponorogo, lagu-lagu yang dinyanyikan tetap lagu Using. Sesekali juga terdengar lantunan rancak musik Banyuwangi dan Bali.
Saat tempo musik dipercepat, para penari jaranan juga terlihat semakin garang di sela bau dupa dan kemenyan yang menyengat. Puncak acara, yaitu saat ada empat penari Buto bertubuh besar masuk dan menari mengikuti irama tabuhan.