Upacara ngaben ala Jawa ini, berbeda dengan di Bali. Tidak ada proses pembakaran jenazah.
Merdeka.com, Banyuwangi - Ratusan umat Hindu di Banyuwangi untuk pertama kalinya menggelar upacara entas-entas secara massal di Desa Kumendung, Kecamatan Muncar, Kamis (4/8). Ritual entas-entas ini merupakan bagian dari penyempurnaan para leluhur yang sudah meninggal. Bila di Bali disebut sebagai ngaben.
Upacara ngaben ala Jawa ini, berbeda dengan di Bali. Tidak ada proses pembakaran jenazah. Atau pengambilan tulang belulang di makam untuk kemudian dibakar. Semua masih menggunakan budaya Hindu di Jawa, peninggalan Majapahit.
Upacara entas-entas khas Hindu di Jawa ini dimulai dengan ritual penyucian sesaji di pemakaman umum Hindu atau makam Mbah Kopek di Desa Sumbersewu, Kecamatan Muncar. Beberapa sesaji yang digunakan seperti nasi tumpeng buceng, tumpeng golong, tumpeng pengentas, tumpeng brok, jenis umbi-umbian, buah-buahan pisang dan kelapa.
Ritual yang digelar di tengah area makam dan persawahan dimulai pukul 12.00 WIB. Semua keluarga para leluhur yang akan dingaben atau dientas-entas, berkumpul di bawah tenda. Upacara, dipimpin oleh tiga pandita Hindu Jawa. Di antaranya Romo Ageng Widjoyobuntoro (Sidoarjo), Romo Rsi Hasto Dharmo (Sidioarjo) dan Romo Rsi Rahmadi Dharma Catur Telaba (Batu, Malang).
Mulanya, sesaji akan disucikan dengan doa-doa berbahasa Jawa serta diiringi gending Jawa. Kemudian roh leluhur (Sawa) yang sudah diundang hadir, akan disimbolkan dalam bentuk kendil berisi bunga. Kemudian dibungkus kain putih. Para keluarga leluhur akan membawa kendil masing-masing untuk didoakan bersama.
Prosesi dilanjutkan dengan ritual entas-entas. Alunan mantra berbahasa Jawa dan gending Jawa mengiringi prosesi ini. Puncaknya, seluruh sawa yang disimbulkan dengan kendil berisi bunga dibungkus kain putih. Lalu, setiap ahli waris membawa kendil masing-masing. Upacara diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Puncaknya, para leluhur di dalam kendi tersebut, dibawa oleh keluarga masing-masing untuk diarak menuju Candi Moksajati, Desa Kumendung, Kecamatan Muncar dengan jarak sekitar 1,5 kilometer.
Selama perjalanan, masing-masing keluarga membawa payung, kendil leluhur dibawa dengan kedua tangan seperti memeluk. Iringan gamelan ble ganjur mengiringi selama perjalanan. Kesan khas Jawa juga muncul dari pakaian, udeng yang dikenakan, dan tidak seragam. Warna pakaiannya, ada yang berwarna hitam, putih, biru.
Oentoeng Margiyanto, sesepuh umat Hindu Muncar mengatakan, upacara Entas-entas sebagai bentuk upaya anak-cucu untuk mengangkat derajat leluhurnya. Entas-entas memiliki makna mengangkat. “Artinya, kita angkat derajat yang lebih tinggi, bahkan moksa," ujarnya.
Meski baru pertama kali, upacara entas-entas ini sudah banyak diikuti warga umat Hindu. Setidaknya, ada 35 KK yang bisa turut serta dengan biaya ngaban ala Jawa yang terjangkau. Tiap KK cukup iuran sebesar Rp 300.000. "Jadi ini gotong royong. Sehingga biayanya sangat murah," jelasnya.
Sesampai di Candi Moksajati, para keluarga leluhur meletakkan kendil dibalut kain putih tersebut diarak keliling candi atau disebut Murwa Daksina. Setelah itu, masing-masing keluarga naik ke atas, untuk menaruh kendil di dalam ruangan candi.
Dalam sambutannya, usai upacara, Romo Rsi Hasto Dharmo mengatakan, setidaknya ada 8.55 roh leluhur yang sudah turut dientas. Namun angka yang bisa tercatat nama dan identitasnya ada 214, “8.55 itu yang ikut hadir. Tidak hanya dari keluarga umat Hindu, tapi semua leluhur nenek moyang kita,” ujarnya.