"Kondisi semacam ini sudah tidak bisa lagi diserahkan kepada hukum alam yang dihadapi sendiri oleh masyarakat peternak".
Merdeka.com, Banyuwangi - Kabupaten Situbondo diperkirakan kehilangan 90 hingga 120 ton daging sapi saat musim kemarau yang terjadi selama 7 sampai 8 bulan per tahun. Lebih dari 4.000 ekor sapi di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih merupakan sapi gembala yang kesulitan mendapatkan makanan saat kemarau, hingga bobot masing-masing sapi menyusut 0,25 kilogram
setiap hari.
Penggemukan yang mereka alami karena melimpahnya rumput sepanjang musim hujan yang rata-rata selama 3 sampai 4 bulan per tahun, kembali habis saat musim kemarau. Sehingga saat musim kering, sapi-sapi ternak itu hanya diusahakan agar mampu bertahan hidup, alih-alih berusaha digemukkan.
Peneliti Universitas Negeri Jember (Unej) Hidayat Teguh Wiyono mengatakan, dengan modal yang tidak cukup, masyarakat mengandalkan rumput hutan sebagai pakan dan justru mengalami masalah saat rumput hutan mengering di musim kemarau. Bahkan seekor sapi kedapatan tidak mampu berdiri menopang badannya karena mengalami mal nutrisi, dan
sapi-sapi lain terlihat kurus seperti tinggal kulit dan tulang saat digembalakan di hutan.
"Kondisi semacam ini sudah tidak bisa lagi diserahkan kepada hukum alam yang dihadapi sendiri oleh masyarakat peternak. Tapi sudah harus diambil alih oleh kehadiran pemerintah untuk menyelamatkan," kata Teguh yang juga menempati posisi Koordinator Pusat Konservasi dan Domestikasi Banteng Indonesia (PKDBI), Kamis (20/9).
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unej itu juga mengatakan pemerintah lebih baik berupaya menyelamatkan sapi-sapi itu dari ancaman kelaparan daripada membuka kuota impor daging sapi. Bila pemerintah berhasil menggemukkan sapi-sapi itu untuk disembelih pada musim hujan maupun kemarau, produksi daging sapi lokal akan meningkat.
Masalah lain lemahnya kemampuan perawatan sapi karena dengan alasan untuk meningkatkan ekonomi, masyarakat Dusun Sidomulyo, Desa Sumberwaru merawat terlalu banyak sapi ternak. Bila biasanya maksimal 4 ekor yang diternak 1 keluarga, di sana masing-masing keluarga berternak hingga 10 sapi sehingga .
Sapi-sapi itu bukan milik mereka sendiri, melainkan milik orang lain atau juragan yang mereka ternakkan dengan kerjasama ‘gadu’ atau bagi hasil berupa anakan atau uang hasil penjualan. Di sisi lain peternak yang membangun kelompok, menerapkan jumlah ideal, menggunakan sistem ternak kandang dan mengelola ladang rumput pakan ternak, tidak
mengalami masalah besar saat musim kemarau datang.
Sementara Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Situbondo Aries Marhaento mengatakan, kelaparan dialami sekitar 1.800 ekor sapi, bukan 4.000 ekor seperti yang dikatakan Teguh. Dia mengakui permasalahan kurang pakan yang terjadi pada sapi-sapi jenis Peranakan Ongole (PO) atau Brahman itu merupakan masalah tahunan yang terus berulang terjadi.
"Kami sudah menggelar pelatihan (sistem ternak kandang), pendampingan dan sebagainya sudah, tindak lanjut dari masyarakat itu yang belum ada. Saya harap tokoh masyarakat dan tokoh agama yang bisa mengupayakan itu, mengubah sedikit pola pikir masyarakat," kata Aries.
Dia mengatakan Situbondo sekarang memiliki 179 ribu ekor sapi, dan setiap tahun menyediakan 4 ribu ton daging sapi untuk Jawa Timur, provinsi yang selama ini berhasil swasembada daging sapi segar. Daging atau krakas sapi Situbondo umumnya memiliki bobot 50 persen dari berat sapi dan menyumbang 17 persen dari total kebutuhan konsumsi Jawa Timur.
Rumput-rumput yang habis karena kemarau dan kebakaran hutan membuat masyarakat peternak menggembala sapi mereka hingga jauh masuk ke dalam Taman Nasional (TN) Baluran. Masuknya ribuan hewan ternak diketahui telah merubah perilaku hewan liar seperti banteng dan macan tutul, di hutan yang seharusnya untuk melindungi kehidupan dan kondisi alam liar mereka.
Kepala Balai TN Baluran Bambang Sukendro mengatakan dari pantauan yang dilakukan pihaknya, ada 1.615 sampai 1.624 ekor sapi yang digembala masuk ke TN. Tak tanggung-tanggung, mereka masuk sejauh 10 kilometer di wilayah pegunungan bawah yang merupakan zona inti yang seharusnya tidak boleh diganggu kealamiannya.
"Sudah sejak 1960-an ada sapi yang masuk ke TN Baluran seperti itu. Sehingga upaya kita untuk melindungi TN tidak mudah karena sudah berlangsung lama," kata Bambang.
Dalam catatannya, semakin meningkat jumlah sapi yang diternak masyarakat Desa Sumberwaru, semakin banyak pula jumlah sapi yang digembala masuk ke hutan lindung. Tahun 2013 jumlah sapi di desa 4.350 ekor dan 1.260 ekor di antaranya digembala di TN. Sedangkan tahun 2017 populasi sapi di desa sebanyak 4.875 ekor dan 1.624 di antaranya
digembala menerabas batas hutan lindung.
Rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat dan kecilnya kesadaran akan perlindungan alam dikatakannya jadi penyebab sulitnya merubah mereka ke pola sapi ternak kandang. Pihak TN bermaksud melibatkan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Situbondo, Unej, dan Balai Besar
Inseminasi Buatan Singosari Malang untuk mengubah pola ternak masyarakat menjadi pola kandang.