1. BANYUWANGI
  2. INFO BANYUWANGI

Ribuan sapi ternak terobos masuk TN Baluran jadi ancaman hewan liar yang dilindungi

"Rusa masih mau mendatangi arena gembala, tapi hanya pada malam hari, artinya mereka tetap menghindari kehadiran sapi ternak".

Sapi kurus digembala di TN Baluran / Ahmad Suudi. ©2018 Merdeka.com Editor : Endang Saputra | Jum'at, 21 September 2018 10:42

Merdeka.com, Banyuwangi - Lebih dari 1.600 ekor sapi ternak setiap hari terpantau menerobos masuk hingga zona inti Taman Nasional (TN) Baluran, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur saat digembalakan masyarakat peternak. Siang hari saat musim kemarau, mereka menguasai 5.596 hektare lahan atau 1/5 dari total luas TN hingga ke wilayah pegunungan rendah Baluran, untuk mencari makan.

Dari pengawasan dengan kamera jebakan yang dilakukan Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Satyawan Pudyatmoko bersama timnya menunjukkan masuknya ribuan sapi menyebabkan adanya
perubahan hewan liar yang mengancam perkembangan mereka. Pengawasan telah dilakukan selama 1.562 hari dengan memanfaatkan 39 kamera jebakan dengan sensor gerak dan infra merah yang dipasang ke area
gembala ternak dan area non gembala ternak.

Dampak terlihat jelas pada jenis satwa macan tutul, kerbau dan terutama banteng, hewan endemik TN Baluran yang sangat sensitif pada kehadiran manusia dan hewan ternak. Ketiganya sama sekali tidak terlihat di area yang digunakan masyarakat menggembalakan sapi mereka, alias menghindari wilayah itu.

"Rusa masih mau mendatangi arena gembala, tapi hanya pada malam hari, artinya mereka tetap menghindari kehadiran sapi ternak. Kijang lebih mudah beradaptasi dalam menerima kehadiran sapi ternak, tapi populasinya tetap lebih banyak yang berada di luar area gembala," kata Satyawan, Selasa (17/9).

Dia menjelaskan banyaknya sapi dan manusia yang masuk hutan akan menyebabkan banteng lebih banyak menghabiskan waktu untuk waspada, lari dan menghindar daripada untuk makan. Dengan berkurangnya efektifitas makan, pertumbuhan, kesuburan, dan kebugarannya juga turun sehingga akan mengganggu perkembangbiakan mereka di masa mendatang.

Hal itu bertentangan dengan semangat kelestarian untuk mengembalikan populasi banteng TN Baluran yang sempat turun drastis dari sekitar 200 ekor ke 50 ekor pada tahun 2003. Hingga pada tahun 2016 tersisa 46
ekor yang terpantau kamera jebakan, tahun 2017 berangsur meningkat dan TN Baluran memiliki 77 ekor banteng.

"Gembala (hewan ternak) harus dikelola untuk mempertahankan spesies kunci, spesies prioritas, seperti kerbau, macan tutul, dan ajax. Karena untuk meningkatkan banteng kita kan perlu habitat yang lebih luas lagi. Kalau tidak, mereka akan rebutan pakan, rebutan ruang, dan terjadi perubahan perilaku yang menyebabkan terhambatnya kembang biak banteng," kata akademisi yang mengerjakan skripsi, tesis dan
disertasinya di TN Baluran itu.

Salah satu peternak dari Dusun Sidomulyo, Desa Sumberwaru, Ardjo (60) mengaku harus berjalan kaki menggembala 20 ekor sapinya sejauh 10 kilometer ke dalam hutan setiap hari. Saat musim hujan ternaknya
tumbuh secara normal. Namun saat musim kemarau rumput pakan ternak sangat sulit didapat, diperparah adanya kebakaran hutan bulan Juli lalu, sampai ternaknya harus dibawa masuk ke zona inti kawasan hutan
lindung untuk mencari makan.

Meskipun upaya itu dilakukannya, tetap saja pakan sapi sulit ditemukan hingga sapi-sapi yang dipeliharanya dan ribuan sapi lain mengalami kekurusan kekurangan makan. Bila dalam kondisi normal sapi putih jenis Peranakan Ongole (PO) atau Brahman yang dipeliharanya memiliki bobot 1,5 kwintal lebih, saat kemarau bobot mereka tinggal 50 kilogram.

"Kalau biasanya laku Rp 9 juta bisa jadi Rp 2 juta saja kalau dijual saat kemarau begini (karena bobot berkurang). Usia 9 tahun beratnya seharusnya 1,5 kwintal," kata Ardjo.

Dia mengaku perekonomiannya dan tetangga-tetangganya sangat bergantung pada pekerjaan menernak sapi-sapi milik orang lain seperti itu. Namun bila normalnya 4 sapi dirawat 1 keluarga, masing-masing keluarga Desa
Sumberwaru menangani 10 atau 20 ekor sapi, bahkan lebih, sehingga membutuhkan rumput yang sangat banyak yang tidak bisa terpenuhi saat musim kemarau.

Kepala Balai TN Baluran Bambang Sukendro mengatakan bila terus dibiarkan sapi-sapi ternak akan menempati wilayah TN yang lebih luas lagi di masa mendatang. Padahal kehadiran mereka telah terbukti mengganggu satwa yang harusnya dilindungi di dalam taman nasional seluas 25 ribu hektare itu.

Populasi sapi ternak di Dusun Sidomulyo dan Dusun Merak, Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, sebanyak 4.169 ekor. Sebagian yang biasa digembala masyarakat masuk ke hutan berjumlah sekitar 1.600 ekor. Namun kegiatan masyarakat menggembala sapi ke hutan lindung seperti itu sudah berlangsung sejak lama, sekitar tahun 1960, sehingga sulit dihentikan.

"Kebakaran memang menyebabkan rumput semakin habis, tapi kebakaran tahun ini sudah menurun dari tahun sebelumnya. Kebakaran tidak mungkin terjadi karena gesekan kayu, yang jelas disebabkan manusia, bisa dari
putung rokok, bisa obat nyamuk," kata Bambang.

Rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat dan kecilnya kesadaran akan perlindungan alam dikatakannya jadi penyebab sulitnya merubah mereka ke pola sapi ternak kandang. Ditambah belum selesainya masalah pendudukan tanah eks hak guna usaha (HGU) PT Gunung Gumitir di Dusun Merak di dalam taman nasional yang sekarang ditempati warga eks pekerja perkebunan PT Gunung Gumitir, yang juga berternak
ribuan sapi.

Pihaknya berupaya melibatkan Dinas Peternakan (Disnak) Provinsi Jawa Timur, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Situbondo, Universitas Negeri Jember (Unej), dan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB)
Singosari Malang untuk mengubah pola ternak masyarakat menjadi pola kandang. Masing-masing pihak diminta berkontribusi dari pemberian bantuan bibit sapi, pelatihan pola ternak kandang, pelatihan pengolahan dan penyimpanan pakan, sampai pemulihan habitat banteng di dalam kawasan TN.

Pola ternak kandang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat karena lebih menguntungkan peternak tanpa menggembala masuk ke hutan lindung. Selain itu populasi banteng di TN Baluran diharapkan
kembali ke bilangan ratusan. Spesies Bos Javanicus Javanicus itu di TN Baluran termasuk spesial karena memiliki morfologi yang lebih besar dari yang ada di taman nasional lain, hingga sangat penting untuk
dilestarikan.

(ES) Laporan: Ahmad Suudi
  1. Peternakan
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA