"Jadi dalam sehari ada penerbangan Garuda Indonesia sebanyak dua kali, dan Wings Air sebanyak dua kali," kata Anas.
Merdeka.com, Banyuwangi - Lonjakan jumlah penumpang ke Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, membuat maskapai penerbangan mulai menambah frekuensi penerbangan ke daerah di ujung timur Pulau Jawa tersebut. Per 30 Oktober 2016, frekuensi penerbangan ke Banyuwangi dari Surabaya bertambah menjadi empat kali dalam sehari dari sebelumnya hanya tiga kali sehari.
"Jadi dalam sehari ada penerbangan Garuda Indonesia sebanyak dua kali, dan Wings Air sebanyak dua kali. Pilihan waktunya juga makin lengkap dari pagi hingga sore hari, sehingga memudahkan para wisatawan, dunia usaha, dan masyarakat luas untuk menuju ke Banyuwangi," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat ditemui di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Jumat (14/10).
Anas optimistis, penambahan frekuensi terbang tersebut semakin mendorong perekonomian Banyuwangi ke arah yang semakin baik. Penambahan frekuensi juga menunjukkan geliat perekonomian di daerah tersebut.
Anas yakin, ke depan dengan beroperasinya terminal baru Bandara Blimbingsari Banyuwangi, frekuensi maupun jumlah penumpang bakal terus meningkat. Saat ini, terminal baru berkonsep arsitektur hijau dengan nyaris tanpa AC tersebut sedang memasuki tahap akhir, dan dijadwalkan akan diresmikan pada awal 2017.
"Terminal baru akan menjadi ikon baru yang bisa menarik perhatian wisatawan. Ini adalah terminal bandara berkonsep hijau pertama di Indonesia. Tanpa AC dengan arsitektur yang sangat unik dan berkarakter,” ujarnya.
Jumlah penumpang di Bandara Blimbingsari Banyuwangi sendiri terus mengalami peningkatan. Tercatat pertumbuhan penumpang melonjak hingga 1.308 persen dari hanya 7.826 penumpang (2011) menjadi 110.234 penumpang (2015). Hingga Agustus 2016, bandara tersebut telah melayani lebih dari 71.000 penumpang. Sampai akhir tahun, total jumlah penumpang diprediksi sedikitnya 120.000 orang.
Anas menambahkan, keberadaan bandara yang mempermudah akses wisatawan dan dunia usaha ikut menggerakkan perekonomian Banyuwangi. Berdasarkan data BPS, pendapatan per kapita warga melonjak 80 persen dari Rp 20,8 juta per tahun pada 2010 menjadi Rp 37,5 juta per tahun pada 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) naik 85 persen dari Rp 32,4 triliun (2010) menjadi Rp 60,2 triliun (2015).
Namun, Anas mengakui masih ada problem soal kesenjangan. Indeks Ketimpangan atau Gini Ratio Banyuwangi sudah turun dari 0,33 menjadi 0,29. Gini ratio adalah indeks ketimpangan yang diukur dari skala 0 sampai 1. Semakin mendekati nol, semakin baik.
"Ini berat karena banyak faktor. Tapi perlahan terus kami kurangi. Salah satu caranya dengan membuka banyak destinasi dan aktivitas ekonomi untuk membikin sentra pertumbuhan baru, seperti di wilayah selatan ada pabrik gula baru, di wilayah utara ada destinasi wisata baru," kata Anas memungkasi.