Sarung yang dibentangkan dengan tegak lurus, menggambarkan masyarakat yang harus teguh dan percaya diri.
Merdeka.com, Banyuwangi - Ratusan sarung dibentangkan menggunakan bambu di halaman rumah masing-masih warga Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (8/7). Masing-masing sarung yang dijemur diapit menggunakan bambu ini menjadi tradisi Mepe Sarung yang ramai dilakukan warga Desa Banjar, saat Lebaran Idul Fitri. Tradisi Mepe Sarung, coba ditampilkan kembali dalam momentum Osing Culture Festival.
Lukman Hakim (40), Ketua Adat Desa Banjar mengatakan tradisi Mepe Sarung menjadi kebiasaan masyarakat Desa Banjar turun-temurun hingga saat ini. Tradisi tersebut ada, ketika saat itu masih belum ada setrika.
"Media pengganti setrika. Orang dulu gak ada setrika. Habis lebaran, itu dijemur. Setelah kembali fitri. Kegimbiraannya dilihatkan dari sarung. Sekarang sudah jarang, tugas saya nguri-nguri (melestarikan) ini," ujar Lukman kepada Merdeka Banyuwangi.
Tradisi Mepe Sarung, kata Lukman, juga memiliki makna filosofis bagi masyarakat Desa Banjar. Sarung yang dibentangkan dengan tegak lurus, menggambarkan masyarakat yang harus teguh dan percaya diri.
"Makne jejeg maneng (teguh/percaya diri). Seperti jejeke sarung, atas sama bawah diapit jajang (dihimpit bambu). Biasanya digantung di halaman rumah," tambahnya.
Meski masih lestari, tradisi ini kata Lukman sudah mulai redup. Pada tahun 1970-an hampir semua masyarakat Banjar memiliki kebiasaan menjemur sarung dengan metode diapit, namun sudah mulai jarang pada tahun 1995.
"Selain setrika, bisa jadi karena kain sarung sekarang lebih bagus dibandingkan dulu," tambahnya.
Dalam Festival Osing Culture Festival yang mengangkat tema Kopi Uthek dan Kuliner Sego Lemang, pihaknya telah mengajak warga kembali melakukan tradisi Mepe Sarung. Totalnya ada sekitar 500 lebih bentangan sarung, dengan menghabiskan bambu 200 biji.
"Sekarang ada sekitar 500 sarung yang dijemur. Bambu 200 itu, satu bambu bisa dipotong jadi tiga bentangan sarung," jelasnya.
Suhaili (39), salah satu warga Desa Banjar mengatakan, meski kain sarung saat ini sudah lebih bagus, dia masih sering menjemur dengan cara diapit. Sebab bisa lebih lega dibandingkan menggunakan setrika.
"Tradisi ini sebenarnya ya sering dilakukan di hari biasa. Sampai sekarang saya jemurnya ya begitu. Cuma sewaktu lebaran lebih banyak, jadi ramai-ramai," jelasnya.
Saat masih kecil, sarung yang dikenakan Suhaili bila tidak dijemur dengan cara diapit, maka akan mudah mengkerut.
"Mungkin karena jelek ya kualitas kain sarung dulu. Jadi kalau tidak diapit njemurnya, kalau dipakai bisa ngepir (seperti pegas)," ujarnya.