Diharapkan tambang ini bermanfaat bagi masyarakat.
Merdeka.com, Banyuwangi - Konflik tambang emas di Tumpang Pitu yang masih memanas membuat Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas harus turun tangan, menyelesaikannya. Orang nomor satu di Bumi Blambangan ini mengajak dialog warga secara langsung tentang masalah Tumpang Pitu melalui siaran interaktif di semua stasiun radio di Banyuwangi, Sabtu pagi (26/3).
Gelar dialog terbuka antara Anas dengan warga kontra penambang emas ini bukan kali pertama. Bahkan, Jumat kemarin (25/3), Anas juga bertatap muka langsung dengan warga serta tokoh masyarakat setempat di Lapangan Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran.
Dialog ini sengaja digelar untuk mendengar aspirasi masyarakat terkait tambang. Untuk mengetahui semua persoalan dan keinginan warganya, dia sendiri harus mendekat pada warga dan menjelaskan rinci bagaimana proses munculnya pertambangan di Banyuwangi.
Dia memaparkan, kegiatan eksplorasi emas di Banyuwangi sudah dimulai sejak 1991 sampai 1994 oleh PT Gamasiantara (Golden Eagle Indonesia). Dilanjutkan Korea Toosun Holding dari 1994 sampai 1997. Kemudian Golden Valley Mines (1997), Placer Dome (1999-2000) dan Hakman Group JV.
Medio 2006, PT Indo Multi Cipta (IMC) gantian tampil dan berubah nama menjadi PT Indo Multi Niaga (IMN) untuk melanjutkan kegiatan eksplorasi. Proses perizinan dilakukan cukup panjang. Tercatat sejak 2006 sudah terbit Surat Keterangan Izin Peninjauan (SKIP) dan Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum kepada PT IMC.
Di Tahun 2007, terbit kuasa pertambangan eksplorasi atas nama PT IMN, yang selanjutnya pada 2008 terbit kuasa pertambangan eksploitasi.
Tahun 2010, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka kuasa pertambangan eksploitasi PT IMN disesuaikan bentuknya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Lalu pada 2012, IMN mengajukan pemindahan IUP ke PT Bumi Suksesindo (BSI) hingga saat ini.
"Sejak awal menjabat bupati pada 20 Oktober 2010, telah terdapat 137 tahapan proses yang diajukan ke pemda terkait perizinan tambang. Saya mencermati detail dan menemukan fakta, tidak ada satupun kerangka kerja yang ada bisa menguntungkan masyarakat Banyuwangi," terang Anas.
Saat kali pertama menjabat sebagai Bupati Banyuwangi itulah, Anas dihadapkan pilihan tuntutan menutup tambang atau terus melanjutkannya. Karena perizinan tambang telah berjalan sejak dia belum menjabat.
"Selama sekitar 1,5 tahun saya tidak mau menemui PT IMN, pengelola tambang saat itu. Selama itu pula saya tidak menandatangani RKP (rencana kerja perusahaan). Lalu, saya putuskan harus mencari benchmark, dan bertanya ke para ahli, hingga berkonsultasi ke sejumlah kepala daerah tentang pengelolaan tambang di wilayahnya," papar dia.
Dalam jeda waktu itu, lanjut Anas, Pemkab Banyuwangi berikhtiar meningkatkan kemanfaatan tambang bagi warga Banyuwangi. Dia belajar dari praktek-praktek yang telah berjalan.
"Adanya contoh dari Kutai Timur yang bupatinya sepihak menutup tambang, masalahnya justru berlarut-larut. Bupatinya digugat hingga ke arbitrase internasional, dan sampai sekarang masih gantung. Sehingga solusi yang ini saya hindari, karena ongkosnya tinggi," ujar Anas.
Anas lalu belajar dari Bupati Sumbawa Barat. Pemda setempat bisa mendapatkan saham yang bisa dipergunakan untuk pembangunan daerah. Terilhami skema tambang di Sumbawa Barat inilah, Anas lalu meminta renegoisasi ke pengelola tambang.
"Dari 40 IUP yang diajukan pengelola, tidak ada yang menguntungkan Pemda. Maka kami pun melakukan renegoisasi dengan bantuan konsultan dari Bahana Sekuritas (lembaga konsultan keuangan dan pasar modal milik negara/BUMN)," ujar Anas.
Dari pertemuan dan negosiasi hingga belasan kali, muncullah ide golden share. Pemkab Banyuwangi lalu mendapat golden share dihitung dari total modal disetor buat mengelola tambang. Banyuwangi mendapat saham tanpa mengeluarkan uang.
"Ini yang pertama di Indonesia. Prinsip yang kami anut, bila tidak bisa mendapatkan semuanya, maka dapatkan sebagian. Nanti keuntungan dari tambang bisa digunakan Pemkab untuk membiayai anak-anak muda Banyuwangi sekolah hingga ke luar negeri, membangun jalan, menyediakan fasilitas kesehatan, dan sebagainya," ujar Anas.
Anas menegaskan, keuntungan yang dirasakan Banyuwangi dari kepemilikan saham di tambang tersebut baru akan dirasakan empat atau lima tahun mendatang ketika tambang sudah benar-benar berproduksi.
"Saat keuntungan itu mengalir ke Pemkab Banyuwangi, saya sudah tidak jadi bupati. Artinya apa? Artinya kami sekarang berpikir untuk pembangunan bertahun-tahun ke depan, bukan berpikir sekarang," ujar Anas.
Sejumlah warga sudah diajak melihat metode tersebut di PT J-Resources Bolaang Mongondow (JRBM) yang ada di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Dalam sistem tersebut, limbah tidak dibuang ke laut, namun diproses sedemikian rupa sehingga aman bagi alam. "Rakyat tidak boleh dirugikan karena limbah tambang," tegas Anas.