1. BANYUWANGI
  2. SENI DAN BUDAYA

Riwayat Buyut Jokso dan Tradisi Puter Kayun di Boyolangu

"Jadi tradisi Puter Kayun sudah dilaksanakan sejak lama. Awal dulu ceritanya, ada Buyut Jokso," kata Kholig.

Tradisi Puter Kayun di Banyuwangi. ©2016 Merdeka.com Reporter : Mohammad Ulil Albab | Kamis, 21 Juli 2016 18:57

Merdeka.com, Banyuwangi - Ini kisah tentang Tradisi Puter Kayun setiap habis lebaran di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi. Biasanya, setelah melakukan arak-arakan kuda dengan dokar yang dihias, warga Boyolangu menggelar selamatan di samping Gunung Batu Watu Dodol. Dimulai dengan menggelar tikar, menaruh beberapa tumpeng, doa bersama untuk para leluhur, baru makan bersama.

Arak-arakan Tradisi Puter Kayun yang berlangsung dari Kelurahan Boyolangu menuju Watudodol ini, sudah berlangsung sejak era Mas Alit, Bupati pertama Banyuwangi tahun 1774. Hal ini disampaikan Kholiqul Ridho, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi.

"Jadi Tradisi Puter Kayun sudah dilaksanakan sejak lama. Awal dulu ceritanya, ada Buyut Jokso. Makamnya ada di Boyolangu. Dia salah satu tokoh pada zamannya Mas Alit, bupati pertama, dia itu yang bisa mendodol gunung batu ini," kata Kholiq kepada Merdeka Banyuwangi, beberapa waktu lalu.

Gunung yang saat ini bernama Watu Dodol ini, bila dilihat sebelum didodol (dibuka), memang menghalangi akses jalan dari Banyuwangi ke Panarukan (Situbondo). Karena kesulitan membongkar, pemerintah Kolonial Belanda, kemudian menyuruh Mas Alit untuk mencari cara bagaimana membongkar bagian gunung yang menghalangi proyek jalan tersebut.

Dari situlah peran Buyut Jokso, nenek moyang warga Boyolangu diperingati. "Makanya Belanda melalui Mas Alit mengadakan sayembara mencari siapa yang bisa mendodol. Tapi tidak ada yang mampu. Kemudian Mas Alit akhirnya ingat ada temannya yang mungkin bisa membantu. Dicari teman yang bernama Buyut Jokso ini," ujar Kholiq.

Berdasarkan cerita turun temurun ini, Kholiq melanjutkan, Buyut Jokso dikisahkan sebagai pencari rumput kuda yang memiliki kesaktian. "Waktu itu di depan Taman Sritanjung banyak rumput. Datang hujan deras, dipanggil ke situ Buyut Jokso sama Mas Alit. Tapi tidak sedikitpun basah Buyut Jokso itu," jelasnya.

Mendapat utusan Mas Alit, penunggang kuda di Boyolangu ini kemudian disuruh membongkar Gunung yang menghalangi jalan Belambangan-Panarukan. Dalam proses pembongkaran tersebut, juga banyak melibatkan warga pribumi Boyolangu. "Ya Banyak juga warga pribumi kita yang meninggal karena mungkin kecapean," tuturnya.

Pembongkaran Gunung Watu Dodol, dipercaya baru bisa dibongkar oleh warga Boyolangu melalui mediasi Buyut Jokso. Gunung tersebut baru bisa dibongkar dengan beberapa syarat. Salah satunya, harus datang dan memberi upacara selamatan tiap tahun. Dari situ, muncullah tradisi Puter Kayun.

"Sehingga setiap tahun habis hari raya, anak cucu buyut jokso ke sini. Dengan harapan mereka menuhi janji nyambangi dan selamatan mengirim doa kepada para leluhur yang mendodol ini. Makanya di sebut watu dodol karena didodol, dibuka itu," ujar Kholiq.

Selain itu, penggunaan dokar serta kuda sebagai media arak-arakan tradisi Puter Kayun, karena memang warga Boyolangu banyak yang memiliki dokar. Termasuk leluhur mereka, Buyut Jokso. "Dulu awalnya hanya keluarga Buyut Jokso yang punya dokar ini. Dulu masyarakat Boyolangu itu banyak yang memiliki dokar sampai 20. Sekarang mulai terkikis hanya 8-10 lah," ujarnya.

(MT/MUA)
  1. Seni dan Budaya
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA